Sayup-sayup semilir udara pagi
membelai lembut wajahku. Perlahan aku berusaha membuka kedua kelopak mataku
yang terasa seperti diberi perekat ini. Kesadaranku belum sepenuhnya kembali,
namun aku masih berusaha mengumpulkan tenagaku untuk dapat membuka kedua
mataku.
“Emmhh…” Gumamku pelan saat rasa pening seketika muncul menyergap kepalaku. Entahlah, mungkin akhir-akhir ini aku terlalu kelelahan dan kurang tidur. Aku sebagai mahasiswi semester enam Fakultas Psikologi di sebuah Universitas swasta di Jakarta, memang sedang capek-capeknya mengerjakan tugas praktek yang memang biasa diberikan pada semester ini.
Sampai juga di kampus tercintaku ini, setelah lebih dari satu jam yang lalu aku berusaha keras mengejar waktu untuk siap-siap dan membenahi segala keperluanku untuk berangkat kuliah hari ini.
“Friska!”
Telingaku menangkap suara seseorang yang memanggil namaku dari arah belakang, sesegera mungkin aku menengok ke arah halaman kampusku yang terbilang cukup luas ini.
“Oh Putri.” Ucapku pada diriku sendiri saat mataku berhasil menangkap sosok yang aku yakini dialah yang memanggilku tadi. Aku berjalan mendekat padanya saat dia mulai member intruksi padaku agar aku segera menghampirinya ke sana.
“Ada apa, Put?”
“Ada tugas tambahan nih.” Jawabnya sambil mengekspresikan raut lelah.
“Tugas lagi? Ya ampun, yang kemaren aja belum selese sama sekali. Tugas apaan sih?”
“Nih. Tugas praktek. Kita disuruh dateng dan ngunjungin sebuah LP yang kira-kira di situ ada tahanan anak kecilnya.” Ungkapnya padaku sembari menyodorkan beberapa lembar kertas yang berisi rincian perintah tugas.
“Kok aku baru tau sekarang sih?” Tanyaku heran karena aku menyadari bahwa aku mungkin saja termasuk telat dalam mendapat informasi.
“Kemaren kan kamu nggak berangkat kuliah siang, Fris. Lha sedangkan ini tuh tugas yang memang dikasih kemaren.”
Aku menganggukkan kepalaku pelan menandakan bahwa aku mulai paham dengan apa yang Putri bicarakan padaku barusan. Perhatianku kemudian terfokus pada lembaran kertas yang kini ada di genggaman tanganku. Mataku menelusuri tiap kata yang tercetak jelas di kertas itu. Sedetik setelah itu, aku mulai menemukan kata kunci dari apa yang barusan kubaca. Tugasku adalah meneliti kondisi jiwa anak kecil yang harus mendekam di LP.
“Emmhh…” Gumamku pelan saat rasa pening seketika muncul menyergap kepalaku. Entahlah, mungkin akhir-akhir ini aku terlalu kelelahan dan kurang tidur. Aku sebagai mahasiswi semester enam Fakultas Psikologi di sebuah Universitas swasta di Jakarta, memang sedang capek-capeknya mengerjakan tugas praktek yang memang biasa diberikan pada semester ini.
Sampai juga di kampus tercintaku ini, setelah lebih dari satu jam yang lalu aku berusaha keras mengejar waktu untuk siap-siap dan membenahi segala keperluanku untuk berangkat kuliah hari ini.
“Friska!”
Telingaku menangkap suara seseorang yang memanggil namaku dari arah belakang, sesegera mungkin aku menengok ke arah halaman kampusku yang terbilang cukup luas ini.
“Oh Putri.” Ucapku pada diriku sendiri saat mataku berhasil menangkap sosok yang aku yakini dialah yang memanggilku tadi. Aku berjalan mendekat padanya saat dia mulai member intruksi padaku agar aku segera menghampirinya ke sana.
“Ada apa, Put?”
“Ada tugas tambahan nih.” Jawabnya sambil mengekspresikan raut lelah.
“Tugas lagi? Ya ampun, yang kemaren aja belum selese sama sekali. Tugas apaan sih?”
“Nih. Tugas praktek. Kita disuruh dateng dan ngunjungin sebuah LP yang kira-kira di situ ada tahanan anak kecilnya.” Ungkapnya padaku sembari menyodorkan beberapa lembar kertas yang berisi rincian perintah tugas.
“Kok aku baru tau sekarang sih?” Tanyaku heran karena aku menyadari bahwa aku mungkin saja termasuk telat dalam mendapat informasi.
“Kemaren kan kamu nggak berangkat kuliah siang, Fris. Lha sedangkan ini tuh tugas yang memang dikasih kemaren.”
Aku menganggukkan kepalaku pelan menandakan bahwa aku mulai paham dengan apa yang Putri bicarakan padaku barusan. Perhatianku kemudian terfokus pada lembaran kertas yang kini ada di genggaman tanganku. Mataku menelusuri tiap kata yang tercetak jelas di kertas itu. Sedetik setelah itu, aku mulai menemukan kata kunci dari apa yang barusan kubaca. Tugasku adalah meneliti kondisi jiwa anak kecil yang harus mendekam di LP.
Pagi begitu cepat
berganti siang. Pikiranku masih sedikit kacau. Mungkin karena terlalu banyak
bercabang mengenai banyak hal yang memang harus aku pikirkan saat ini. Ide
cemerlang muncul dengan tiba-tiba. Mengapa aku tidak mengunjungi sebuah LP
sekarang? Hitung-hitung kan untuk menyicil tugas ini, daripada ditunda-tunda
dan malah jadi nggak keburu untuk ke depannya. Aku pun segera bergegas menuju
parkiran untuk mengambil motor matic-ku dan segera tancap gas menuju sebuah LP
di Bekasi.
Suasana gerbang LP cukup membuat lututku bergetar karena gugup dan tegang. Terus terang, meski sudah beberapa kali mengadakan penelitian kejiwaan khususnya bagi pelaku kriminal di LP, pengalaman kali ini adalah pengalaman pertama aku ngobrol langsung dengan seseorang yang didakwa kasus pembunuhan berencana.
Dengan jantung dag dig dug, pikiranku melayang-layang membayangkan gambaran anak yang akan aku temui. Sudah terbayang muka keji Hanibal Lecter, juga penjahat-penjahat berjenggot palsu ala sinetron, dan gambaran-gambaran pembunuh berdarah dingin lain yang sering aku temui di cerita TV.
Akhirnya setelah aku mengajukan surat ijin dan menunjukkan identitasku serta perintah tugas dari kampusku kepada pihak LP, aku pun menunggu sekian lama berharap-harap cemas. Beberapa menit kemudian, salah satu sipir membawa seorang anak kehadapanku. Kupandangi sejenak seorang anak berumur 8 tahun yang kini berdiri tak jauh di hadapanku. Tingginya tidak lebih dari pinggang orang dewasa dengan wajah yang diliputi senyum malu-malu. Matanya teduh dengan gerak-gerik yang sopan.
Aku pun membaca berkas kasusnya yang diserahkan oleh sipir itu. Aku sedikti tersentuh setelah membaca keseluruhan isi dari berkas-berkas itu. Ternyata, sebelum masuk penjara ternyata ia adalah juara kelas di sekolahnya, juara menggambar, jago bermain suling, juara mengaji dan adzan di tingkat anak-anak.
Kemampuan berhitungnya lumayan menonjol. Bahkan dari balik sekolah di dalam penjara pun nilai sekolahnya tercatat kedua terbesar tingkat provinsi. Lantas kenapa ia sampai membunuh? Dengan rencana pula?
Kisahnya mulai mengalir, ketika aku ditempatkan dalam sebuah ruangan yang berisi beberapa bangku yang sengaja disusun berhadapan beserta sebuah meja coklat panjang. Anak itu duduk di hadapanku dengan wajah setengah menunduk tak memandangku. Dua orang sipir berjaga-jaga di belakang kami berdua. Aku segera mempersiapkan alat perekam suara, kemudian buku catatan kecil beserta pulpen tinta hitam untuk keperluan mencatat jikalau ada hal penting yang memang harus kucatat.
Kasus ini terjadi ketika Arif sebut saja nama anak ini begitu, belum genap berusia tujuh tahun. Ayahnya yang berdagang di sebuah pasar di daerah Bekasi, dihabisi kepala preman yang menguasai daerah itu. Latar belakangnya karena si ayah enggan membayar uang 'keamanan' yang begitu tinggi.
Suasana gerbang LP cukup membuat lututku bergetar karena gugup dan tegang. Terus terang, meski sudah beberapa kali mengadakan penelitian kejiwaan khususnya bagi pelaku kriminal di LP, pengalaman kali ini adalah pengalaman pertama aku ngobrol langsung dengan seseorang yang didakwa kasus pembunuhan berencana.
Dengan jantung dag dig dug, pikiranku melayang-layang membayangkan gambaran anak yang akan aku temui. Sudah terbayang muka keji Hanibal Lecter, juga penjahat-penjahat berjenggot palsu ala sinetron, dan gambaran-gambaran pembunuh berdarah dingin lain yang sering aku temui di cerita TV.
Akhirnya setelah aku mengajukan surat ijin dan menunjukkan identitasku serta perintah tugas dari kampusku kepada pihak LP, aku pun menunggu sekian lama berharap-harap cemas. Beberapa menit kemudian, salah satu sipir membawa seorang anak kehadapanku. Kupandangi sejenak seorang anak berumur 8 tahun yang kini berdiri tak jauh di hadapanku. Tingginya tidak lebih dari pinggang orang dewasa dengan wajah yang diliputi senyum malu-malu. Matanya teduh dengan gerak-gerik yang sopan.
Aku pun membaca berkas kasusnya yang diserahkan oleh sipir itu. Aku sedikti tersentuh setelah membaca keseluruhan isi dari berkas-berkas itu. Ternyata, sebelum masuk penjara ternyata ia adalah juara kelas di sekolahnya, juara menggambar, jago bermain suling, juara mengaji dan adzan di tingkat anak-anak.
Kemampuan berhitungnya lumayan menonjol. Bahkan dari balik sekolah di dalam penjara pun nilai sekolahnya tercatat kedua terbesar tingkat provinsi. Lantas kenapa ia sampai membunuh? Dengan rencana pula?
Kisahnya mulai mengalir, ketika aku ditempatkan dalam sebuah ruangan yang berisi beberapa bangku yang sengaja disusun berhadapan beserta sebuah meja coklat panjang. Anak itu duduk di hadapanku dengan wajah setengah menunduk tak memandangku. Dua orang sipir berjaga-jaga di belakang kami berdua. Aku segera mempersiapkan alat perekam suara, kemudian buku catatan kecil beserta pulpen tinta hitam untuk keperluan mencatat jikalau ada hal penting yang memang harus kucatat.
Kasus ini terjadi ketika Arif sebut saja nama anak ini begitu, belum genap berusia tujuh tahun. Ayahnya yang berdagang di sebuah pasar di daerah Bekasi, dihabisi kepala preman yang menguasai daerah itu. Latar belakangnya karena si ayah enggan membayar uang 'keamanan' yang begitu tinggi.
Berita ini rupanya sampai di telinga
Arif. Malam esok harinya setelah ayahnya dikebumikan ia mendatangi tempat
mangkal preman tersebut. Bermodalkan pisau dapur ia menantang orang yang
membunuh ayahnya.
"Siapa yang bunuh ayah saya?!" Teriaknya kepada orang yang ada di tempat itu.
"Gue. Terus kenapa?" Ujar kepala preman yang membunuh ayahnya sambil disambut gelak tawa di belakangnya.
Tanpa banyak bicara anak kecil itu sambil melompat menghunuskan pisau ke perut si preman. Dan tepat mengenai ulu hatinya, pria berbadan besar itu jatuh tersungkur ke tanah. Arif pun langsung lari pulang ke rumah setelahnya. Akhirnya selesai sholat subuh esok paginya ia digelandang ke kantor polisi.
"Arif nih sering bikin repot petugas di Lapas." Ujar Kepala Lapas yang ikut menemani saya mewawancarai arif sambil tersenyum. Ternyata sejak di penjara dua tahun lalu, anak ini sudah tiga kali melarikan diri dari selnya. Dan caranya pun menurut saya tergolong ajaib.
Pelarian pertama dilakukannya dengan cara yang tak terpikirkan siapapun. Setiap pagi sampah-sampah dari Lapas itu di jemput oleh mobil kebersihan. Sadar akan hal ini, diam-diam Arif menyelinap ke dalam salah satu kantung sampah. Hasilnya 1-0 untuk Arif. Ia berhasil keluar dari penjara.
Pelarian kedua lebih kreatif lagi. Anak yang doyan baca ini pernah membaca artikel tentang fermentasi makanan tape. Dari situ ia mendapat informasi bahwa tape mengandung udara panas yang bersifat destruktif terhadap benda keras.
Kebetulan pula di Lapas anak ini disediakan tape uli dua kali dalam seminggu. Setiap disediakan tape, arif selalu berpuasa karena jatah tape itu dibalurkannya ke dinding tembok sel tahanannya.
Hasilnya setelah empat bulan, tembok penjara itu menjadi lunak seperti tanah liat. Satu buah lubang berhasil dibuatnya. 2-0 untuk Arif. Ia keluar penjara ke dua kalinya.
Pelarian ketiganya dilakukan ala Mission Imposible. Arif yang ditugasi membersihkan kamar mandi melihat ember sebagai sebuah solusi. Besi yang berfungsi sebagai pegangan ember itu di simpan di dalam kamarnya. Tahu bahwa dirinya sudah diawasi sangat ketat, Arif memilih tempat persembunyian paling aman sebelum memutuskan untuk kabur.
"Siapa yang bunuh ayah saya?!" Teriaknya kepada orang yang ada di tempat itu.
"Gue. Terus kenapa?" Ujar kepala preman yang membunuh ayahnya sambil disambut gelak tawa di belakangnya.
Tanpa banyak bicara anak kecil itu sambil melompat menghunuskan pisau ke perut si preman. Dan tepat mengenai ulu hatinya, pria berbadan besar itu jatuh tersungkur ke tanah. Arif pun langsung lari pulang ke rumah setelahnya. Akhirnya selesai sholat subuh esok paginya ia digelandang ke kantor polisi.
"Arif nih sering bikin repot petugas di Lapas." Ujar Kepala Lapas yang ikut menemani saya mewawancarai arif sambil tersenyum. Ternyata sejak di penjara dua tahun lalu, anak ini sudah tiga kali melarikan diri dari selnya. Dan caranya pun menurut saya tergolong ajaib.
Pelarian pertama dilakukannya dengan cara yang tak terpikirkan siapapun. Setiap pagi sampah-sampah dari Lapas itu di jemput oleh mobil kebersihan. Sadar akan hal ini, diam-diam Arif menyelinap ke dalam salah satu kantung sampah. Hasilnya 1-0 untuk Arif. Ia berhasil keluar dari penjara.
Pelarian kedua lebih kreatif lagi. Anak yang doyan baca ini pernah membaca artikel tentang fermentasi makanan tape. Dari situ ia mendapat informasi bahwa tape mengandung udara panas yang bersifat destruktif terhadap benda keras.
Kebetulan pula di Lapas anak ini disediakan tape uli dua kali dalam seminggu. Setiap disediakan tape, arif selalu berpuasa karena jatah tape itu dibalurkannya ke dinding tembok sel tahanannya.
Hasilnya setelah empat bulan, tembok penjara itu menjadi lunak seperti tanah liat. Satu buah lubang berhasil dibuatnya. 2-0 untuk Arif. Ia keluar penjara ke dua kalinya.
Pelarian ketiganya dilakukan ala Mission Imposible. Arif yang ditugasi membersihkan kamar mandi melihat ember sebagai sebuah solusi. Besi yang berfungsi sebagai pegangan ember itu di simpan di dalam kamarnya. Tahu bahwa dirinya sudah diawasi sangat ketat, Arif memilih tempat persembunyian paling aman sebelum memutuskan untuk kabur.
Ruang kepala Lapas
menjadi pilihannya. Alasannya jelas, karena tidak pernah satu pun penjaga
berani memeriksa ruang ini. Ketika tengah malam ia menyelinap keluar dengan
menggunakan besi pegangan ember untuk membuka pintu dan gembok. Jangan Tanya
saya bagaimana caranya, pokoknya tahu-tahu ia sudah di luar. 3-0 untuk Arif.
Lantas kenapa ia bisa tertangkap lagi? Rupanya kepintaran itu masih berada di sebuah kepala bocah. Pelarian-pelariannya didorong dari rasa kangennya terhadap ibunya. Anak ini keluar dari penjara hanya untuk ke rumah sang ibunda tercinta.
Jadi dari Lapas tanggerang ia menumpang-numpang mobil omprengan dan juga berjalan kaki sekian kilometer dengan satu tujuan, pulang…
Karena itu pula pada pelarian Arif yang ketiga, kepala Lapas yang juga seorang ibu ini meminta anak buahnya untuk tidak segera menjemput Arif. Hasilnya dua hari kemudian Arif kembali lagi ke lapas sambil membawa surat untuk Kepala Lapas yang ditulisnya sendiri.
* Ibu Kepala Arif minta maaf, tapi Arif kangen sama ibu Arif. * Tulisnya singkat.
Seorang anak cerdas yang harus terkurung dipenjara. Tapi, saya tidak lantas berpikir bahwa ia tidak benar-benar bersalah dan harus dibebaskan. Bagaimanapun juga ia telah menghilangkan nyawa seseorang.
Tapi saya hanya berandai-andai jika saja, kebijakan bertindak cepat menangkap pembunuh si ayah (secepat polisi menangkap si Arif) pastinya saat ini anak pintar dan rajin itu tidak akan berada di tempat seperti ini. Dan kreativitasnya yang tinggi itu bisa berguna untuk hal yang lain. Sayangnya si Arif itu cuma anak pedagang sayur miskin sementara si preman yang dibunuhnya selalu setia menyetor kepada pihak berwajib setempat.
Berjam-jam waktu sudah terlewati. Menarik sekali bagiku mendengarkan kisah perjalanan anak ini. Dan yang kulihat kini, kondisi kejiwaan Arif baik-baik saja. Ia tidak merasa tertekan selama berada di balik jeruji besi ini. Yang kulihat, ia masih terlihat sama seperti anak usia 8 tahun pada umumnya. Ia masih terlihat ceria, hanya saja ia sedikit pemalu dan sedikit enggan saat kuberikan pertanyaan-pertanyaan untuknya.
Mungkin ini pelajaran bagiku juga, bahwa segala sesuatu di hidup ini terkadang tidak masuk akal dan sulit untuk diterima logika. Bagaimana mungkin anak umur 8 tahun harus merasakan pahitnya mendekam di balik sel tahanan yang kelam? Entahlah. Yang aku lakukan kini hanyalah memantau kejiwaan Arif sebagai tugas praktek kuliahku, dan barangkali kisahnya mampu aku gunakan sebagai pelajaran hidup bagiku juga.
Lantas kenapa ia bisa tertangkap lagi? Rupanya kepintaran itu masih berada di sebuah kepala bocah. Pelarian-pelariannya didorong dari rasa kangennya terhadap ibunya. Anak ini keluar dari penjara hanya untuk ke rumah sang ibunda tercinta.
Jadi dari Lapas tanggerang ia menumpang-numpang mobil omprengan dan juga berjalan kaki sekian kilometer dengan satu tujuan, pulang…
Karena itu pula pada pelarian Arif yang ketiga, kepala Lapas yang juga seorang ibu ini meminta anak buahnya untuk tidak segera menjemput Arif. Hasilnya dua hari kemudian Arif kembali lagi ke lapas sambil membawa surat untuk Kepala Lapas yang ditulisnya sendiri.
* Ibu Kepala Arif minta maaf, tapi Arif kangen sama ibu Arif. * Tulisnya singkat.
Seorang anak cerdas yang harus terkurung dipenjara. Tapi, saya tidak lantas berpikir bahwa ia tidak benar-benar bersalah dan harus dibebaskan. Bagaimanapun juga ia telah menghilangkan nyawa seseorang.
Tapi saya hanya berandai-andai jika saja, kebijakan bertindak cepat menangkap pembunuh si ayah (secepat polisi menangkap si Arif) pastinya saat ini anak pintar dan rajin itu tidak akan berada di tempat seperti ini. Dan kreativitasnya yang tinggi itu bisa berguna untuk hal yang lain. Sayangnya si Arif itu cuma anak pedagang sayur miskin sementara si preman yang dibunuhnya selalu setia menyetor kepada pihak berwajib setempat.
Berjam-jam waktu sudah terlewati. Menarik sekali bagiku mendengarkan kisah perjalanan anak ini. Dan yang kulihat kini, kondisi kejiwaan Arif baik-baik saja. Ia tidak merasa tertekan selama berada di balik jeruji besi ini. Yang kulihat, ia masih terlihat sama seperti anak usia 8 tahun pada umumnya. Ia masih terlihat ceria, hanya saja ia sedikit pemalu dan sedikit enggan saat kuberikan pertanyaan-pertanyaan untuknya.
Mungkin ini pelajaran bagiku juga, bahwa segala sesuatu di hidup ini terkadang tidak masuk akal dan sulit untuk diterima logika. Bagaimana mungkin anak umur 8 tahun harus merasakan pahitnya mendekam di balik sel tahanan yang kelam? Entahlah. Yang aku lakukan kini hanyalah memantau kejiwaan Arif sebagai tugas praktek kuliahku, dan barangkali kisahnya mampu aku gunakan sebagai pelajaran hidup bagiku juga.
Cerpen by Hidayati Zulfa
Redaktur by Ghalia Dyandra Y. A
Comments
Post a Comment