Ghalia Dyandra Y. A |
Hari ini adalah jadwal piketku, Hari
Rabu. Aku pulang lebih sore. “Bella, ini jadwal kau piket kan? Tolong bersihkan
ruangan ini! Mau ada rapat.” Perintah wali kelas padaku. Dengan berat hati aku
membersihkan ruang kelas yang dipergunakan untuk rapat.
Hari mulai
sore, sekolah mulai sepi. Segera aku keluar dari ruang kelas. “Bell!” seorang
pria tiba-tiba menghampiriku dari belakang. “Aku minta nomor kau.” Ucap pria
itu. Aku terdiam, senyum. Tak ku hiraukan ucapan pria itu yang ternyata
kelasnya berada di sebelah kelasku. “Aku minta nomormu.” Ucap pria itu sekali
lagi dengan nada sedikit keras. “Untuk apa?” tanyaku “sudah kasih saja!” kata
pria itu sambil membuka tas dan mengambil pulpen dari tasnya. Akhirnya ku beri
nomor HPku padanya.
Malam hari
pun tiba, terdengar getaran dari HPku. “Hallo.” Satu pesan dari nomor tanpa
nama. “Siapa?” balasku. “Edward, yang tadi minta nomor kau di sekolah.”
Katanya. Aku membalas lagi, begitupun dengan dia. Akhirnya, akhir-akhir ini aku
sering smsan dengan Edward.
Semakin
lama aku dekat dengan Edward, aku semakin nyaman bersamanya. Entah mengapa aku
juga sering memikirkan Edward. Di sekolah, rumah, bahkan saat mau tidur. Hingga
larut dalam mimpiku. Mungkin aku sudah mulai tumbuh rasa cinta dan benar-benar
sayang padanya.
Hari ini
adalah Hari Minggu. “tok..tok…tok…” terdengar suara ketukan pintu. Segera ku
buka pintu rumahku. Sontak aku kaget. Ternyata Edward. Langsung ku suruh dia
masuk. Setelah kami berbincang-bincang beberapa saat, ia mengajakku untuk pergi
jalan-jalan. Awalnya aku ragu, tetapi akhirnya aku menerima.
Aku
membonceng di belakang dengan motor ninjanya. Hingga sampai di suatu tempat.
“hey, duduk di sini saja yuk!” ajaknya. Aku duduk di bangku yang ada
bersamanya. “Tunggu sebentar ya Bell.” Ucap Edward. Ku tunggu Edward hingga
beberapa saat. Edward kembali dengan membawa dua buah es krim. “Nih.” Edward
menjulurkan tangan kanannya yang sedang memegang es krim padaku. “Gak ah.” Ucapku
malu. Edward tetap memaksaku sampai aku mau.
Lalu aku
dibawanya ke tempat karaoke. Di sana kami bernyanyi bersama. Walaupun awalnya
kami memang sama- sama malu. Kembali ku naiki motor ninja birunya. Kami
berhenti di sebuah rumah makan. Hingga sore hari aku baru sampai di rumah.
Sebelum aku memasuki rumah, ia mencium tanganku dan memelukku. Betapa
bahagianya aku.
Keesokan
harinya, aku kembali menaiki ninja birunya saat pulang sekolah. Sebelum pulang
ke rumah, Edward sempat mengajakku ke taman. Kami duduk berdua,
berbincang-bincang sambil menikmati es krim seperti biasa.
Beberapa
bulan kami menjalin hubungan. Ya walaupun aku dan Edward hanya sebatas teman.
Tetapi aku menganggap perasaanku ke Edward lebih dari teman ataupun sahabat.
Sampai
akhirnya aku bingung, akhir-akhir ini Edward jarang sms aku. Tidak ada kabar
dari dia. Bahkan di sekolah pun ia cuek. Tapi aku percaya ia masih seperti
Edward yang dulu.
Hingga
akhirnya aku kesepian sekarang. Aku hanya bisa curhat dengan Alice, teman
curhat sekaligus sahabatku dari kecil sampai sekarang. Kami masih satu
sekolahan tetapi beda kelas. Alice adalah sahabat yang ku percaya. Aku
benar-benar nyaman memiliki sahabat seperti Alice.
Pada suatu
hari, aku melihat Edward dengan motor ninjanya. Ya Tuhan! Dia terlihat
sempurna. Tapi tunggu! Sesosok wanita tiba-tiba menaiki ninjanya. Dan mereka
pergi berdua. Ternyata wanita itu adalah Alice, sahabatku. Aku tidak
mempercayai itu. Tetapi aku tetap berpikir positif. Mungkin mereka memang ada
urusan penting.
Sampai pada
akhirnya aku melihat Edward pagi-pagi sudah berada di depan kelas Alice. Tak ku
hiraukan, aku tetap berjalan menujukelas. Aku masih tetap berpikir positif
walaupun ada sedikit kecurigaan. Bel masuk mengagetkan lamunanku. Segera ku
ambil buku pelajaran pertama dari dalam tas.
Terdengar
bel istirahat pertama. Terlihat Alice sudah berada di depan kelasku. “Hey!”
sapa Alice padaku sambil tersenyum. Ku balas dengan senyuman. Tiba-tiba Edward
datang ke arahku. Aku tersipu, aku memberikan senyuman manisku padanya. Entah
aku terlalu percaya diri atau dia yang selalu memberikan harapan palsu untukku.
Edward samasekali tidak membalas senyumku, mungkin hanya sekedar melirik saja
tidak. Edward menghampiri Alice dan memberikan senyum padanya. Oh tidak! Ya
Tuhan, aku tak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku sekarang. Aku pura-pura
tidak tahu.
Keesokan
harinya, sahabatku Alice berulang tahun. Aku mendapatkan traktiran dari Alice.
Aku dan Alis segera menuju sebuah rumah makan. Hanya aku dan Alice. Tiba-tiba
terdengar suara seseorang dari belakang yang mungkin ku kenal suaranya. “Maaf
mengganggu sebentar.” Aku menengok ke arah belakang. Ternyata Edward. Aku
selalu salting bila ada di dekatnya. Tapi kali ini aku harus bersikap biasa
saja.
Edward
duduk di sebelahku dan berhadapan dengan Alice. Aku memberikan senyum pada
Edward. Ia membalas senyumanku. Mukaku mulai memerah. Percaya diriku mulai
naik. Tapi sesuatu yang membuatku terjatuh kembali. Edward memegang tangan
Alice. Mulutnya mulai membuka dan berkata “Lice, sebenarnya aku sayang sama
kamu. Aku mau kau menjadi pacarku.” Aku terdiam mendengar perkataan itu. “Maaf
aku mau pulang, takut mengganggu suasana.” Ucapku. Mereka samasekali tidak
menghiraukanku. Mungkin mereka tak pernah mengerti bagaimana perasaanku. Aku
berlari berusaha untuk menutupi kesedihanku. Tapi aku tak sekuat itu. Aku
rapuh, kalah untuk menahan air mata. Aku merasa menjadi orang paling bodoh.
Mungkin aku terlalu percaya diri mengira Edward menyukaiku. Ternyata ia menyukai
sahabatku.
Ketika
pulang sekolah, aku melihat Edward dan Alice Nampak sedang berboncengan. Aku
pura-pura tidak melihat. Aku berusaha memendam amarahku. Aku sadar sewaktu
temanku sedang berbincang-bincang. “Eh, memangnya benar Edward sudah pacaran
dengan Alice?” Tanya salah satu temanku. “Nampaknya iya. Lihat saja mereka
berboncengan.” Kata temanku yang lain. “Bell!” ucap temanku sambil melirik ke
arahku. Aku hanya tersenyum.
Ini adalah
Hari Minggu. Aku sudah ada janji dengan Alice hari ini. Entah aku mau dibawanya
ke mana. Ternyata ternyata Alice mengajakku ke taman. Aku melihat Alice
menghampiri seseorang yang sedang duduk di bangku taman. “Hai Ed!” sapa Alice
pada Edward. Ternyata Alice mengajakku untuk menemaninya bertemu dengan Edward.
Di sini aku harus bersikap profesional. Tidak boleh ada rasa cemburu. Walaupun
sebenarnya perasaanku lebih dari cemburu padanya.
“Bell,
fotoin kita berdua dong!” ucap Alice sambil memberikan kameranya padaku. Aku
mulai memotret mereka berdua dengan gaya Edward merangkul Alice dan Alice
memeluk Edward. “sudah ni.” Ucapku. “Bagaimana hasilnya? Bagus gak?” Tanya
Alice padaku. Aku hanya menjawab “lihat saja sendiri!” kataku sambil senyum
getir. Mereka melihat hasil foto mereka dari hasil potretanku sambil tersenyum.
Nampak raut wajah bahagia dari muka mereka. Aku berbalik badan sejenak.
Kemudian mengusap air mataku yang menetes di pipi.
Aku ingin
sekali move on. Tetapi sebelum aku
bisa merasakan move on, aku ingin
mengenang masa laluku bersama Edward dengan motor ninjanya. Senang, sedih,
hancur, itu yang aku rasakan ketika bersamanya. Aku hanya mengambil hal-hal
positif dari kejadian ini. Dengan kejadian ini aku bisa menjadi dewasa.
Satu tahun kemudian, aku mulai
bangkit kembali. Justru aku semakin merasa bahagia. Kini aku merasakan apa itu move on. Walaupun masih membekas di
hati. Namun sekarang aku benar-benar menganggap Edward teman. Lalu bagaimana
dengan Alice? Ya, hubungan kami baik-baik saja. Walaupun Edward dan Alice sudah
putus, tapi kami tetap menjadi teman seperti dahulu.
Redaktur by Ghalia Dyandra Y. A
Comments
Post a Comment