Bangun, buka matanya dan tersenyum.
Kuncup, kuncup, kuncup.
Seolah kelopak yang malas terbuka.
Bukan malas. Hanya saja, belum waktunya.
Mentari terlalu indah pagi ini. Sangat hangat dan nyaman, sungguh. Ingin seperti ini saja kalau bisa. Karna musim kemarau itu, membosankan.
"Aku, menunggu diriku mekar!" katanya dengan... Terlampau bersemangat?
"Ibu, aku pasti akan sangat indah nantinya. Aku akan tumbuh jadi bunga yang cantik! Daunku akan hijau dengan lebat. Aah aku tidak sabar lagi."
Tanaman itu, ah tidak. Lebih tepatnya, ibunya? Hanya dapat tersenyum miris.
"Terus saja bermimpi, kau..." Dia menjeda kalimatnya, tidak sanggup untuk melanjutkan. Suaranya lembut, lebih tapatnya... lemah?
"Ibu! Ibu akan melihatku menjadi cantik, kan?"
"Em, tentu saja."
"Iya, pasti."
"Mungkin,kau memang akan tumbuh jadi bunga yang sangat hebat. Tapi disamping kehebatanmu, kau juga harus kuat."
Kuncup menyernyit, tidak mengerti. Dia terlalu lambat untuk memproses kalimat yang membingungkan baginya.
"Heh? Maksudnya? Aku, harus kuat bagaimana?"
"Ibu ceritakan sesuatu, ya? Tentang perjalanan ibu hingga dapat bertahan sampai sekarang. Dulu, ibu juga kuncup sepertimu. Sama sepertimu, ibu juga sangat bersemangat menunggu waktu mekar. Sangat bahagia saat kelopak ibu tidak 'malas' lagi, mau bangun."
Kuncup mengangguk-angguk, berusaha mencerna cerita ibunya sebaik mungkin.
"Dulu, ibu merasa mimpi ibu terpenuhi, cita-cita ibu, kerja keras bertahan hingga waktu kuncup usai, digantikan dengan mekar. Itu, rasanya sangat luar biasa. Tidak sepertimu, dulu ibu hidup di hutan liar. Teman ibu pohon-pohon besar. Mereka yang melindungi ibu saat hujan atau angin yang terlalu kencang. Mereka bernyanyi untuk ibu setiap hari, bermain bersama, menyenangkan sekali."
"Woah,mereka pasti sangat baik!"
Ibunya tersenyum, mengangguk. "Ya, mereka baik sekali. Ibu tidak akan pernah melupakan mereka. Kalau saja dulu mereka tidak ada, ibu pasti akan kesepian. Layu karna bosan."
"Hem? Sekarang, dimana mereka? Yang ku tau kita hanya pernah hidup dengan anak kecil yang sangat baik. Selalu memberi kita air dan pupuk tepat waktu."
Ibunya tertawa, "hey, kau belum lahir saat itu." Menjawabnya dengan gemas.
"Ah iya juga." Jawabnya ringan. Dia memang kadang sepolos itu.
"Ada kejadian yang tidak pernah ibu duga. Mereka, pohon-pohon besar itu, sudah tidak ada. Mereka pergi."
"Pergi kemana? Kenapa mereka pergi."
"Pergi,menjadi meja yang kita pijak sekarang, menjadi kursi, lemari, dan lainnya. Penebang kayu, membawa mereka semua." Mata lembutnya berubah menjadi sayu, seperti mengingat kejadian masalalu, dimana teman-temannya habis tak tersisa.
"Dulu, anak dari salah satu penebang kayu membawa pergi ibu kerumahnya. Dia, anak kecil yang merawat kita sekarang."
"Jahat sekali! Menyebalkan! Lihat saja, aku akan membalasnya."
Ibunya tertawa lagi. "Kita hanya tanaman. Tidak bisa berbuat banyak. Setidaknya, anak penebang itu sudah membantu kita. Ibu bercerita seperti ini, agar kau tau. Kehidupan luar tidak sepenuhnya menyenangkan, bisa saja saat kau mekar nanti majikanmu berganti, kau tidak lagi terawat dan...." Lagi, ibunya menjeda ucapannya, "kau, akan layu. Setidaknya, ibu sudah menceritakan ini. Tentang mengapa kau harus kuat. Mungkin kau bukan pohon besar yang bisa dijadikan meja dan lainnya. Namun, kau akan jadi bunga yang cantik. Bisa saja kau akan dijual nanti."
"Aku tidak mau mekar!"
"Jangan seperti itu. Bukankah kau kuat? Ingin seperti ibu? Kau akan tumbuh menjadi bunga yang cantik. Jikalau kau nantinya akan dijual, setidaknya kau bermanfaat bagi orang lain. Menjadi hiasan di salah satu sudut rumahnya. Manusia, memang tidak sebaik dulu. Dia memanfaatkan kita seperti tanpa ada batasnya. Seakan akan kita tidak akan punah. Kita hanya berharap, mereka terus memperbanyak jumlah kita, merawat, dan menjaga kita." Ibunya berbicara selembut mungkin, berharap agar kuncup dapat memahaminya.
"Aku mengerti. Aku akan tetap mekar. Terlepas akan seperti apa aku nantinya,"
"Bagus, itu baru anakku. Ibu akan disini sampai kau mekar. Tetap kuat walau ibu sudah tidak ada. "
" Itu, cukup sulit. Tapi akan kucoba, bu."
"bagus,kau sudah siap mekar ternyata"
Ibu kuncup, tersenyum bangga. Anaknya memang sudah benar-benar siap untuk mekar. Dia hanya berharap, akan ada lebih banyak lagi manusia yang peduli akan tumbuhan. Menjaga, merawat, memperbanyak. Bukan hanya memanfaatkan, mengambil seenaknya saja.
Karya: Herninda Salma Ayuni
Comments
Post a Comment