Anggap saja aku sudah tidak dibutuhkan lagi, anggap saja aku telah hilang dimakan singa. Itulah hidup ku yang selalu ku rasakan, rasa bersalah, rasa penyesalan, rasa ingin pergi, aku tak ingin dilahirkan seperti ini, jika pada akhirnya harus melihat keluarga ku yang seperti ini. Aku Maudya Sarfik. Anak dari seoarang pengusaha kaya di Indonesi.
Aku tak menyangka bahwa hidup ku akan berubah seperti ini, aku juga tak menyangka bahwa aku akan kehilangan kakak ku, ketakutan yang selama ini ku rasakan sejak aku duduk di kelas IX SMP, sekarang ketakutan itu telah terjadi setelah aku sah menjadi anak SMA. Harusnya kini aku sudah menikmati masa - masa putih abu - abu ku, namun tetap tak bisa hal ini karena ayah ku yang selalu mengekang ku. Aku selalu mematuhi perintahnya, namun sekarang tidak lagi.
"Maudy!" teriak Ibu sambil memegang erat tangan ku, dengan wajah yang sudah dibahasahi oleh tangisan air mata, dimana hal ini tak ingin ku lihat dan tak ingin ku dengar.
"Bunda, Maudy enggak rela kalau bunda harus pergi," berlinanglah air mata dari peluh mata ku. Air mata yang tak ingin ku teteskan hari ini, tanpa sengaja terus terajatuh menetes.
Dengan erat aku menggenggam tangan ibu ku, namun sayang ayah justru memisahkan kami. Rasa pilu ini membuat ku tak tahan lagi. Aku hanya ingin menikmati kehidupan seperti halnya anak biasa, yang haus akan kasih sayang orang tuanya. Aku tak menyangka bahwa takdir sekejam ini.
"Yah, izinkan Maudy memeluk bunda sekali saja. Mungkin ini yang terakhir."
"Baiklah, ayah ngizinin. Tapi ingat cuma 5 menit."
Dengan wajah sumringah aku memeluk ibu ku, dengan haru dan rasa sedih seperti ini rasanya aku tak kuat lagi. Kenapa takdir mempermainkan kehidupan ku? Kenapa semua ini terjadi kepada ku?
"Nak, bunda pesen sama kamu, kamu harus jadi anak baik."
Aku hanya mengangguk setuju, namun gerutuhan terdengar dari belakang ku. Seseorang menepuk pundak ku.
"Apa kau tidak merindukan kakak mu ini?"
"Kak Januar?" dengan sontak aku pun terkejut, ayah ku juga bingung.
Apa semua ini? Apa ini hanya mimpi? Apa yang ku lihat ini nyata? Sekali lagi aku dipermainkan oleh takdir. Tapi aku mencoba untuk menekan pipinya, ternyata ini asli kakak ku masih hidup. Lantas kemanakah dia selama ini? Kenapa dia menghilang begitu saja?
"Kakak kemana saja kaka selama ini? Apa kakak tidak merindukan kami?" tanya ku dengan emosi yang membara. "Jawab kak jangan diam saja!"
"Saat kecelakaan itu, kakak terbentur. Kakak lupa akan segalanya, kakak kembali sekarang karena ingatan kakak sudah pulih."
"Sebenernya masa lalu apa yang kalain semua sembunyikan dari aku? Kenapa ayah selalu memukul bunda? Kenapa ayah selalu menyalahkan bunda saat kakak pergi."
"Maaf kan ayah, ayah salah telah memukul bunda. Ayah sadar bahwa kasih sayang seorang ibu lebih besar daripada ayah. Sebenernya waktu itu ayah dan bunda pergi berpiknik bersama Januar dan saat itu kamu masih kecil dan tidak mengingat apa apa akan kejadian itu, akan lebih baiknya disembunyikan tapi tidak kali ini, karena kamu bertanya maka ayah akan menjawabnya. Saat itu aku menemani Maudy untuk bermain sepeda, sedangkan ibu mu menemani Januar saat itu ibu mu sedang mengandung anak ketiga kami yang usianya baru 4 bulan, namun karena kecerobohan ayah yang harusnya tidak memaksa bunda mu ikut pasti kejadiannya tidak seperti itu. Ibu mu keguguran saat dia menyelmatkan Januar, namun Januar menghilang entah kemana? Semenjak saat itulah ayah selalu menyalahkan ibu mu dan ayah selalu memarahi ibu mu atas kejadian itu. Tapi maafkan ayah ma, ayah menyesal, tidak sepantasnya ayah menyalahkan ibu kalian."
Aku hanya bisa diam dan termenung, kejadian itu dirahasiakan oleh keluarga ku sendiri. Tiba - tiba bunda berdiri dan mengatakan dengan lantangnya.
"Kau harus berpikir dulu sebelum menyalahkan ku, aku sudah bersusah payah untuk menjaga anak - anak tapi kamu hanya bisa memarahi ku. Tapi tak mengapa, itu juga karena kesalahan ku yang kurang hati - hati."
Keluarga ku sekarang sudah utuh kembali, walau rasanya aku tak percaya. Hubungan bisa saja runtuh tapi kekeluargaan akan selalu ada dalam hidup setiap orang, dan mungkin inilah takdir Tuhan yang tak ingin keluarga kami bercerai - berai.
Karya : Firda Nova Oktariani
Comments
Post a Comment